Budi Dermawan (2014) SANKSI HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN AYAH TERHADAP ANAK KANDUNGNYA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM. Thesis thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Sarif Kasim Riau.
|
Text
FM.pdf Download (165kB) | Preview |
|
|
Text
BAB I.pdf Download (135kB) | Preview |
|
|
Text
BAB II.pdf Download (375kB) | Preview |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (208kB) |
||
|
Text
BAB V.pdf Download (42kB) | Preview |
|
|
Text
EM.pdf Download (48kB) | Preview |
Abstract
Tesis ini berjudul: ”SANKSI HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN AYAH TERHADAP ANAK KANDUNGNYA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM.” Rumusan masalah : (1) Bagaimana sanksi hukum tindak pidana pemerkosaan ayah terhadap anak kandungnya menurut hukum positif dan hukum Islam, (2) Bagaimana kedudukan hak perwalian seorang ayah yang memperkosa anak kandungnya ? dan (3) Bagaimana status hukum pernikahan anak yang dinikahkan oleh ayah yang memperkosanya ? Penelitian ini adalah jenis penelitian keputakaan (Library Research), yaitu penelitian yang menggunakan sumber bahan-bahan tertulis seperti buku, majalah, surat kabar, dan dokumen lainnya. Sumber data dalam penelitian ini secara garis besar bisa dibagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa kitab-kitab fikih klasik dari Empat Mazhab dan kitab-kitab pendukung lainnya sebagai sumber data sekunder. Hasil Penelitian: Sanksi hukum bagi seorang ayah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandungnya, berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, ia dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 KUHP, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun,” dan Pasal 291 apabila kejahatan seksual mengakibatkan luka luka, maka pelakunya diancam hukuman maksimal 12 tahun, (2) Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 juta rupiah dan dipidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 300 juta, “ dan (3) Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana sanksi hukum yang diberikan maksimal dipenjara selama 15 tahun. Dalam tinjauan Hukum Islam, seorang ayah yang berzina/memperkosa anak kandungnya berarti berzina dengan mahramnya atau dikenal dengan istilah incest, menurut ulama Fiqh sama dengan zina yang harus dihukum, akan tetapi ada perbedaan di antara mereka dalam hal sanksi hukum yang diberlakukan. Mahzab Maliki, Syafi’i, Hambali, al-Laits, Zahiri, Syi’ah Zaidi, dan lain-lain menghukumnya sama dengan hadd zina muhshan. Dalil yang digunakan antara lain hadis riwayat al-Turmudzi dan Ibnu Majah bersumber dari al-Bara’ ra., dan hadis Nabi riwayat Imam al-Turmudzi bersumber dari Abdullah bin Abbas ra. Kedudukan hak perwalian ayah yang memperkosa anak kandungnya; dalam tinjauan hukum Islam, seorang ayah yang berzina/memperkosa anak kandungnya berarti berzina dengan mahramnya, dan sanksi hukumnya adalah hukuman mati dengan cara dirajam sebagaimana pelaku zina muhshan. Oleh karena sanksi hukum rajam bagi pelaku zina dan pemerkosa tidak dapat diberlakukan di Indonesia, dan yang ada hanyalah sanksi hukum penjara sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum Positif, maka bagi pelaku zina dan pemerkosa diwajibkan untuk bertaubat kepada Allah SWT. Menurut pendapat ulama Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah, jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman had kepadanya dan pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Demikian juga pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa seorang yang berzina dan memperkos kemudia bertaubat, maka ia terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika pezina sendiri meminta diterapkan hukuman had kepadanaya untuk membersihkan dirinya. Ketika seorang ayah melakukan tindak pidana memperkosa anak kandungnya berdasarkan ketentuan Pasal 285 dan Pasal 291KUHP, Pasal 8 dan Pasal 59 b Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, dan Pasal 81Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan sanksi hukum dipenjara selama 12 tahun dan maksimal selama 15 tahun. Ketika ia secara sah terbukti memperkosa anak kandungnya, dan selama 12-15 tahun dipenjara sesuai putusan hakim pengadilan, maka dengan sendirinya ia tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan anak kandungnya tersebut. Hal ini menjadi sebab berpindahnya hak perwalian dari ayah kandung sebagai wali nasab kepada urutan wali berikutnya baik dari nasab (aqrab) ke nasab (sederajat atau ab’ad), maupun dari nasab ke hakim. Status hukum pernikahan anak yang dinikahkan oleh ayah yang memperkosanya ; Dengan mengikuti pendapat jumhur ulama pernikahan tersebut dipandang sah. Alasannya, walaupun si ayah telah termasuk wali yang fasiq/tidak adil dengan berzina/memperkosa anak kandungnya tersebut, tetapi seorang wali yang fasiq kefasikan tidak menghalangi seseorang menjadi wali sebagaimana pendapat sebagian besar fuqaha yang membenarkan perwalian orang fasiq. Demikian menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Imam al-Syafi’iy, di mana mereka berpendapat bahwa adil bukanlah merupakan syarat bagi seorang wali. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Ibn Abd al-Salam dan al-Ghazali, ulama mutaakhirin, dan dipertegas oleh al-Allamah Alwy bin Ahmad al-Haddad dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin dan pendapat al-Allamah Zaynuddin al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in.
Item Type: | Thesis (Thesis) |
---|---|
Subjects: | 200 Agama > 290 Agama Selain Kristen > 297 Islam > 297.5 Etika Islam, Praktik Keagamaan > 297.56 Etika Moral Islam dalam Hal Tertentu |
Divisions: | Program Pascasarjana > S2 |
Depositing User: | Feni Marti Adhenova |
Date Deposited: | 28 Jun 2016 03:44 |
Last Modified: | 28 Jun 2016 03:44 |
URI: | http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/5705 |
Actions (login required)
View Item |