Rudi (2011) HAK ISTRI TERHADAP MAHAR DAN MUT’AH PASCA PERCERAIAN DALAM NIKAH TAFWIDH (Studi Analisis Pemikiran Imam Asy-Syafi’i). Thesis thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
|
Text
2011_201111.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
xiii Tesis yang berjudul: HAK ISTRI TERHADAP MAHAR DAN MUT’AH PASCA PERCERAIAN DALAM NIKAH TAFWIDH (Studi Analisis Pemikiran Imam Asy-Syafi’i), ditulis dengan latar belakang pemikiran bahwa masalah mahar dan mut’ah dalam pernikahan merupakan hal yang sangat urgen dan perlu untuk dikaji, karena mahar dan mut’ah khusus bagi wanita (istri) dan kedua macam ini merupakan salah satu hak istri dari berbagai haknya, sebagai simbol penghargaan dan penghormatan dalam pernikahan, serta untuk menghibur hatinya tatkala perceraian mesti terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Bila pada pernikahan yang tidak ditentukan maharnya tatkala akad nikah( nikah tafwidh) dilaksanakan, kemudian terjadi perceraian di antara kedua suami istri, maka apakah hak istri masih tetap mendapatkan mahar atau mut’ah. Penelitian ini memberikan kupasan-kupasan kritis yang dekonstruksionis atas paham pembentukan keluarga melalui pernikahan dan memutuskan ikatan pernikahan melalui perceraian (thalak) dalam nikah tafwidh. Imam Asy-Syafi’i sangat concern terhadap persoalan-persoalan kehidupan dalam kerangka berpikir yang jauh dari metode taklid dengan pemahaman yang logis, sangat relevan dengan permasalahan ini. Imam Al-Syafi’i merupakan seorang fakih pertama yang menulis metodologi fikih (ushul fikih) dalam kitabnya al-Risalah serta mengkonsentrasikan pemikirannya dalam hukum Islam dan dianggap representatif untuk mewakili pemikiran ahl al-ra’yi (Irak) dan ahl al-hadits (Madinah). Perbedaan dasar pemikiran Imam Al-Syafi’i terlihat dalam mendalami suatu hukum, dimana menurut beliau sumber-sumber hukum syari’at harus melalui tingkatan-tingkatan, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Hasil pemikiran beliau pun terlihat dalam qaul qadim (fikih lama), yaitu pendapat-pendapat Imam Al-Syafi’i ketika menetap di Irak dan qaul jadid (fikih baru), yaitu pendapat-pendapat Imam Al-Syafi’i ketika menetap di Mesir. Pada kedua qaulnya, Imam Al-Syafi’i menyatakan bahwa istri berhak menerima mahar mitsl bila terjadi perceraian jika sudah campur (dukhul) dalam nikah tafwidh, tetapi bila belum campur (dukhul) maka istri tidak mendapatkan mahar mitsl dan tidak juga mendapat mut’ah. Terdapat perbedaan mengenai kadar mahar yang diterima oleh istri pada qaul al-qadim dan qaul al- jadidnya. Pada qaul jadid, Imam Al-Syafi’i mengatakan istri hanya berhak memperoleh seluruh mahar apabila sudah terjadi persetubuhan. Sebaliknya pada qaul al-qadim, ia mengatakan istri berhak memperoleh seluruh bagian mahar walaupun belum terjadi persetubuhan. Kedua pendapat beliau ini tentu didukung oleh dalil-dalil yang digunakannya. Masalah Pokok dalam penelitian ini, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan mahar dan mut’ah bagi istri menurut sistem perkawinan dan bagaimana pandangan Imam al-Syafi’i tentang hak istri terhadap mahar dan mut’ah pasca perceraian dalam nikah tafwidh. Tujuan penelitian utama penelitian ini ada dua, yaitu untuk mengetahui kedudukan mahar dan mut’ah dalam pernikahan serta untuk mengetahui pandangan Imam al-Syafi’i tentang hak istri terhadap mahar dan mut’ah pasca perceraian dalam nikah tafwidh. Penelitian diharapkan berguna Memberi penjelasan mengenai kedudukan mahar dan mut’ah dalam pernikahan, memberikan penjelasan tentang pandangan Imam al-Syafi’i mengenai hak istri terhadap mahar dan mut’ah pasca perceraian dalam nikah tafwidh.
Item Type: | Thesis (Thesis) |
---|---|
Subjects: | 200 Agama |
Divisions: | Program Pascasarjana > S2 |
Depositing User: | Feni Marti Adhenova |
Date Deposited: | 26 Dec 2015 07:37 |
Last Modified: | 26 Dec 2015 07:37 |
URI: | http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/179 |
Actions (login required)
View Item |