Bahridi (2010) SANKSI HUKUM DALAM PERKAWINAN SUKU MELAYU JERIENG DI KECAMATAN SIMPANG TERITIP BANGKA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
|
Text
2010_2010106AH.pdf Download (401kB) | Preview |
Abstract
Penelitian ini berjudul : "SANKSI HUKUM DALAM PERKAWINAN SUKU MELAYU JERIENG DI KECAMATAN SIMPANG TERITIP BANGKA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM". Penelitian ini berlokasi di pusat wilayah pelaksanaan hukum adat suku Melayu Jerieng, yakni di kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat. Salah satu hukum adat Melayu Jerieng yang masih dilaksanakan sampai sekarang adalah adat buyong yang berarti mengawini kerabat dekat. Perkawinan semacam ini terlarang menurut hukum adat Melayu Jerieng. Bagi warga yang melanggar larangan ini maka akan dikenakan sanksi adat. Dalam hukum perkawinan Islam juga melarang umatnya mengawini kerabat dekat, akan tetapi larangan tersebut dibatasi oleh syari'at itu sendiri berdasarkan ketetapan nash. Adapun batasan larangan dalam perkawinan buyong tidak hanya berlaku terhadap perempuan yang telah ditetapkan oleh nash saja, akan tetapi lebih luas dibandingkan dengan larangan dalam hukum Islam. Ada bagian yang tidak dilarang oleh syari'at namun dilarang dalam hukum adat buyong. Adapun permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sanksi hukum perkawinan adat buyong. Apa yang melatarbelakangi munculnya sanksi hukum dalam adat ini dan bagaimana bentuk sanksi dalam adat ini. Dari persoalan ini timbul permasalahan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap larangan dan sanksi hukum dalam adat buyong. Penelitian ini adalah penelitian lapangan atau field research. Dalam pengumpulan data menggunakan beberapa metode, yaitu: teknik observasi, teknik wawancara, dan studi dokumentasi. Mengenai larangan mengawini kerabat dekat, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang masih mempunyai hubungan darah dalam silsilah kekelurgaan, pada dasarnya larangan dalam adat buyong ada persamaan dengan hukum Islam, dan ada juga bagian yang tidak sama. Adapun larangan yang sesuai dengan hukum Islam, maka hal itu dapat menjadi hukum yang dapat dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya hukum adat buyong sangat berbeda dengan hukum Islam. Perbedaan tersebut terlihat dari bentuk-bentuk larangannya, dimana bagi pengantin yang masih digolongkan ke dalam kerabat maka keduanya dilarang menikah akan tetapi keduanya bare diizinkan setelah menjalankan hukuman. Golongan perempuan yang dilarang mengawininya adalah ibu, nenek; baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, anak, cucu; baik cucu dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan, saudara; baik saudara kandung, sebapak dan seibu saja, saudara ayah, saudara ayah, saudara ibu, saudara ayah, saudara ibu, saudara sepupu ayah dan saudara sepupu ibu, saudara sepupu; baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, cucu dari saudara sepupu ayah dan cucu dari saudara sepupu ibu, anak perempuan sepupu laki-laki. Apabila terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan di atas, maka pelakunya akan dikenakan sanksi berupa denda dan hukuman badan dari para pemangku adat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa sanksi hukum dalam perkawinan adat buyong termasuk ke dalam adat fasid. Menurut hukum Islam apabila adat tersebut fasid maka tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, dan tidak sah untuk diamalkan karena is bertentangan dengan hukum Islam. Ditinjau dari hukum Islam jelas adat tersebut bertentangan dengan Hukum Islam.
Item Type: | Thesis (Skripsi) |
---|---|
Subjects: | 200 Agama > 290 Agama Selain Kristen > 297 Islam > 297.5 Etika Islam, Praktik Keagamaan > 297.577 Perkawinan Menurut Islam, Pernikahan Menurut Islam, Munakahat |
Divisions: | Fakultas Syariah dan Hukum > Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah) |
Depositing User: | Feni Marti Adhenova |
Date Deposited: | 23 Aug 2017 06:29 |
Last Modified: | 23 Aug 2017 06:29 |
URI: | http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/10566 |
Actions (login required)
View Item |