Search for collections on Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Repository

NASAB ANAK HASIL WATH’ I SYUBHAT DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I

Hendra Lukita (2012) NASAB ANAK HASIL WATH’ I SYUBHAT DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

[img]
Preview
Text
2012_2012170AH.pdf

Download (728kB) | Preview

Abstract

Skripsi ini berjudul: “NASAB ANAK HASIL WATH’I SYUBHAT DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I”. Skripsi ini ditulis dengan latar belakang bahwa, dalam Islam nasab anak ditetapkan berdasarkan ketentuan hadits Rasulullah SAW: “anak adalah bagi pemilik al-firasy (tempat tidur)”. Kata al-firasy menurut ulama berarti suami atau majikan, karena pada dasarnya persetubuhan dengan seorang wanita itu diharamkan kecuali melalui dua sebab, yakni sebab pernikahan yang sah dan sebab kepemilikan terhadap budak wanita, hal ini berdasarkan penjelasan al- Qur’an surat al-Mu’minun ayat 5-7. Oleh karena suami dan majikan halal menyetubuhi, maka kepadanyalah nasab anak dihubungkan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa di luar pernikahan yang sah, nasab anak dapat dihubungkan kepada ayahnya berdasarkan wath’i syubhat. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa jika seorang wanita dinikahi tanpa memenuhi persyaratan seperti menikah tanpa wali dan saksi atau kasus pernikahan rusak lainnya dan dari pernikahan semacam itu lahir seorang anak maka anak dinisbatkan kepada laki-laki yang menikahi wanita itu. Sementara terkait dengan masalah pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang-orang yang melakukannya tidak dapat dikatakan sebagai suami istri dan persetubuhan yang dilakukan merupakan persetubuhan syubhat. Pendapat Imam Syafi’i ini secara lahiriyah bertentangan dengan makna hadits bahwa nasab anak dihubungkan kepada suami yang sah atau kepada majikan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang nasab anak hasil wath’i syubhat, dan bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam menetapkan nasab anak hasil wath’i syubhat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang nasab anak hasil wath’i syubhat, dan untuk mengetahui metode istinbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam menetapkan nasab anak hasil wath’i syubhat. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menjadikan kitab al-Umm, kitab ar-Risalah dan Mukhtasar Kitab al-Umm fi al-Fiqhi sebagai sumber primer, didukung oleh buku-buku lainnya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya: Fiqh Lima Madzhab (penyusun: Muhammad Jawad Mughniyah), Fiqh Perbandingan Lima Madzhab (penyusun: Muhammad Ibrahim Jannati), Fiqh Munakahat (penyusun: H. Abd. Rahman Ghazaly), al-Mughni (penyusun: Ibnu Qudhamah), Halal dan Haram dalam Islam (penyusun: Yusuf al- Qadhawi), Fiqh Islam wa Adillatuhu (penyusun: Wahab al-Zuhaili). Data diperoleh dengan cara mencari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analitik, metode komparatif, dan metode analisis konten. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nasab anak dihubungkan kepada pemilik al-firasy disebabkan karena persetubuhan, karena pernikahan, atau karena kepemilikan. Laki-laki yang menyetubuhi seorang wanita secara syubhat dapat diqiyaskan sebagaimana persetubuhan dalam pernikahan yang sah. Sahnya nasab anak hasil wath’i syubhat diperoleh berdasarkan pengakuan syara’. Oleh karena itu hubungan nasab ini tidak dapat ditolak kecuali dengan li’an. Jika terjadi nikah syubhat diwilayah pernikahan yang haram, maka anak yang dilahirkan dari pernikahan itu adalah anak yang sah dengan alasan bahwa secara lahiriyah pernikahan itu adalah sah. Apabila dua orang atau lebih sama-sama mengakui nasab seorang anak, dimana mereka memiliki bukti yang sama kuat maka ditetapkanlah nasab anak berdasarkan keputusan al-qafah, ini merupakan cara menetapkan nasab berdasarkan ilmu. Jumhur ulama pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa wath’i syubhat yang terjadi dalam pernikahan yang kebolehannya masih diperselisihkan dikalangan fuqaha adalah anak sah, demikian halnya terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan fasid. Namun mereka berbeda pendapat dalam kasus wath’i syubhat di luar akad pernikahan, sebagaimana pendapat qadhi yang termuat dalam kitab al- Mughni mengatakan bahwa nasab anak ditetapkan berdasarkan adanya akad nikah, dan karena kepemilikan, jika terjadi persetubuhan di luar akad nikah walaupun di dalamnya terdapat syubhat, maka persetubuhan itu tidak dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan sahnya hubungan nasab. Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki menikahi istri orang lain atas dasar ketidaktauan atau ketidak sengajaan, maka anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan dari suami yang kedua itu dinisbatkan kepada suami yang pertama, karena suami yang pertama adalah pemilik al-firasy. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada persetubuhan syubhat terhadap muhrim yang haram dinikahi selamanya, oleh karena itu jika terjadi pernikahan antara orang-orang yang terikat hubungan muhrim selamanya maka persetubuhan yang terjadi di dalamnya merupakan perzinahan. Muhyiddin Abdul Hamid berpendapat bahwa nasab anak tidak dapat dihubungkan berdasarkan jenis kesyubhatan apapun, kecuali jika laki-laki yang melakukan persetubuhan syubhat itu mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya. Dengan tetap menghormati pendapat ulama lainnya, terkait nasab anak hasil wath’i syubhat penulis berpendapat bahwa segala bentuk persetubuhan syubhat (wath’i syubhat) dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hubungan nasab karena yang memutuskan hubungan nasab adalah perzinahan, sedangkan persetubuhan syubhat bukanlah merupakan perzinahan. Selain itu terdapat kesamaan di dalam diri pelaku wath’i syubhat dengan pelaku wath’i yang halal, yakni: pada saat melakukan persetubuhan mereka meyakini bahwa persetubuhan itu halal dilakukan dan tidak ada niat sengaja melawan hukum, oleh karena itu berlakulah kepadanya sebagai mana persetubuhan yang halal, walaupun pada kenyataannya wath’i syubhat sebagian besarnya terjadi pada wilayah persetubuhan yang haram. Penulis berpendapat demikian berdasarkan kaidah fiqh: “Sesungguhnya perbuatan itu bergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap manusia berlaku apa yang diniatkan”.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Subjects: 200 Agama > 290 Agama Selain Kristen > 297 Islam > 297.5 Etika Islam, Praktik Keagamaan > 297.577 Perkawinan Menurut Islam, Pernikahan Menurut Islam, Munakahat
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah)
Depositing User: eva sartika
Date Deposited: 09 Dec 2016 07:10
Last Modified: 09 Dec 2016 07:10
URI: http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/9601

Actions (login required)

View Item View Item