Ftri (2011) “Pelaksanaan Sistem Pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam Perkara Cerai Gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR”, dengan latar belakang bahwa sistem pembuktian perdata, sudah beralih kepada kebenaran materiil, artinya walaupun alat bukti secara formal telah mencukupi, hakim tidak boleh memutus kalau tidak yakin bahwa hal itu telah terbukti benar secara materiil. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Sarif Kasim Riau.
|
Text
2010_201140.pdf Download (359kB) | Preview |
Abstract
iii Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Sistem Pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam Perkara Cerai Gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR”, dengan latar belakang bahwa sistem pembuktian perdata, sudah beralih kepada kebenaran materiil, artinya walaupun alat bukti secara formal telah mencukupi, hakim tidak boleh memutus kalau tidak yakin bahwa hal itu telah terbukti benar secara materiil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara obyektif dan menganalisis pelaksanaan sistem pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR. Kemudian untuk mengetahui secara obyektif dan menganalisis pertimbangan hukum yang dibuat majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR. Terakhir untuk mengetahui secara obyektif analisis hukum Islam tentang pelaksanaan sistem pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR. Tipe penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti putusan Pengadilan Agama Pekanbaru perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR serta bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pelaksanaan sistem pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR adalah sistem pembuktian secara formal. Dimana majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut memutuskan dengan mempertimbangkan berdasarkan alat bukti formal semata. Padahal dalam putusan Mahkamah Agung No. 3136K/Pdt.1983 dikatakan tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Dalam pandangan ahli juga demikian sebagaimana dikemukakan Roihan A Rasyid, “sistem pembuktian yang mendasarkan pada kebenaran formal itu sudah lama ditinggalkan karena keperluan hukum dan praktik penyelenggaraan peradilan dan aliran kebenaran formal juga sudah beralih kepada kebenaran materiil. Pertimbangan hukum yang dibuat majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR dapat dikatakan tidak cukup pertimbangan karena tidak ada analisis yang jelas berdasarkan hukum pembuktian, diantaranya apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materiil, alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian, dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti, dan sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak. Putusan yang tidak cukup pertimbangan bertentangan dengan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 RBg dan Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 (sekarang Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004) yang paling sering dijadikan dasar menyatakan putusan mengandung cacat tidak cukup pertimbangan, terutama disebabkan putusan tidak mempertimbangkan fakta dan pembuktian dengan seksama. Analisis hukum Islam tentang pelaksanaan sistem pembuktian di Pengadilan Agama Pekanbaru dalam perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR, bahwa sistem pembuktian dalam hukum Islam juga tidak berdasarkan kebenaran formal. Pembuktian perkara perdata menurut hukum Islam lebih menekankan kepada kebenaran materiil. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang terjadi dalam perkara cerai gugat No. 0735/PDT.G/2008/PA/PBR yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Pekanbaru. Meskipun perceraian dengan suami pertama tidak pernah diputuskan melalui Pengadilan Agama sebagaimana didalilkan oleh Pemohon berikut bukti-bukti surat yang diajukannya, namun Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dalam pertimbangannya mengemukakan bahwa alat bukti T. 3 sampai dengan bukti T. 12 dipandang tidak menguatkan dalil-dalil Pemohon. Padahal dilihat dari segi syarat formil dan materil kedua alat bukti itu, telah terpenuhi. Dimana alat bukti T.11 tersebut merupakan akta bukti surat otentik yang dikeluarkan pemerintah. Keadaan ini sejalan dengan ketentuan hukum Islam dimana dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah langsung dapat dijadikan sebagai bukti. Apalagi Termohon tidak dapat mematahkan alat bukti tersebut dengan bukti lawan yang rupa setara dan sempurna. Oleh karena itu, bila dilihat dari alat bukti yang diajukan Pemohon secara formal dan materiil cukup untuk mengoyahkan alat bukti P. 2 atau mematahkan alat bukti formal dari pihak lawan. Sehingga hubungan perkawinan antara Termohon dan Pemohon seharusnya menjadi cacat sebagaimana dalil yang dipertahankan oleh Pemohon dalam perlawannya. Memang, kelemahan dari dalil Pemohon bukan dari alat bukti yang diajukannya, melainkan dalil itu tidak tepat dipertahankan dalam perkara aqou. Mengapa? sebab untuk menyatakan perkawinannya tidak sah atau cacat hukum menurut hukum yang berlaku di Indonesia harus diajukan pembatalan perkawinan dan terpisah dari perkara yang sedang disengketakan.
Item Type: | Thesis (Skripsi) |
---|---|
Subjects: | 200 Agama > 290 Agama Selain Kristen > 297 Islam > 297.5 Etika Islam, Praktik Keagamaan > 297.577 Perkawinan Menurut Islam, Pernikahan Menurut Islam, Munakahat |
Divisions: | Fakultas Syariah dan Hukum > Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah) |
Depositing User: | Feni Marti Adhenova |
Date Deposited: | 12 Jan 2016 05:05 |
Last Modified: | 12 Jan 2016 05:05 |
URI: | http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/708 |
Actions (login required)
View Item |