Search for collections on Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Repository

Hukum Keluarga Matrilineal Minangkabau dalam Perspektif Maqashid Syari’ah

Syamsi Yusrizal, Syamsi (2019) Hukum Keluarga Matrilineal Minangkabau dalam Perspektif Maqashid Syari’ah. Disertasi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

This is the latest version of this item.

[img] Text
File Lengkap Sampai Lampiran Kecuali Hasil Penelitian (Bab IV).pdf

Download (2MB)
[img] Text (BAB IV)
File Hasil Penelitian (Bab IV).pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)

Abstract

ABSTRAK Syamsi Yusrizal, Nim. 31695104861, disertasi berjudul: “Hukum Keluarga Matrilineal Minangkabau Perspektif Maqashid Syari’ah”. Program Studi Hukum Keluarga (AH) Pascasarjana S3 UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Tahun 2019, 340 halaman. Adapun yang memotivasi peneliti dalam membahas disertasi ini dilatarbelakangi bahwa akan menjawab perbedaan pendapat masyarakat adat Minangkabau tentang polemik hukum keluarga matrilineal secara subtansi hukum perspektif maqashid syari’ah. Tujuan penulisan disertasi ini adalah mengungkapkan hukum keluarga matrilineal Minangkabau pada aspek perkawinan, tanggungjawab suami terhadap istri dan anak, perceraian, dan harta pusaka perspektif maqashid syari’ah. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara terperinci terhadap permasalahan sebagaimana adanya. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu: primer, sekunder, dan data tertier. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diungkapkan sebagai berikut: 1. Hukum keluarga matrilineal Minangkabau pada aspek perkawinan perspektif maqashid syari’sh adalah: Masyarakat Minangkabau membagi larangan perkawinan menjadi tiga, yaitu: Pertama, nikam bumi. Kedua, cegak telu. Ketiga, pecah pinggan. Makna perkawinan secara prinsipil bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan. Ditinjau dari lima prinsip dasar (al-Dharuriyah al-Khams) atau maslahah yang bersifat primer (al-Maslahah al-Mu’tabarah), makna perkawinan bisa dianalisa sebagai berikut: Pertama, untuk mewujudkan prinsip menjaga keturunan (hifdzu al-Nasl). Kedua, menjaga agama (hifdzu al-Din). Kesamaan agama menjadi prinsip utama dalam perkawinan. Ketiga, sistem larangan kawin satu suku ini dipakai untuk mengekalkan kekerabatan matrilineal. Konsep al-‘urf berdasarkan pengertian mubah atau jaiz (pembolehan) dapat dijadikan tolak ukurnya; 2. Hukum keluarga matrilineal Minangkabau pada aspek tanggungjawab suami terhadap istri dan anak perspektif maqashid syari’ah adalah: Pergeseran atau tahapan bentuk perkawinan di Minangkabau ada tiga bentuk yang berimplikasi kepada tanggungjawab suami terhadap istri dan anaknya, yaitu perkawinan bertandang, perkawinan menetap dan perkawinan bebas. Seorang suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri dengan nafkah yang dihasilkan dari pekerjaan yang baik sesuai dengan kadar kemampuannya. Bagian hifdzun an-nafs diambil dari maslahah, tujuan syariat adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia, dan untuk menghindari mafsadat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat; 3. Hukum keluarga matrilineal Minangkabau pada aspek terjadinya perceraian perspektif maqashid syari’ah adalah: Perceraian dalam keluarga matrilineal Minangkabau adalah: Pertama, ketika terjadi perceraian, hak asuh anak berada pada istri. Kedua, ketika terjadi perceraian, suami yang berangkat (pergi) dari rumah. Ketiga, harta yang didapat selama hubungan pernikahan (harta pusako randah/harta gono gini) pada umumnya tidak dibagi secara hukum yang berlaku. Kewajiban memelihara, mendidik, mencukupi kebutuhan hidup anak, serta menjaga hak dan harta anak harus dilakukan untuk kepentingan anak. Dan ini terus berlaku walaupun terjadi perceraian; dan 4. Hukum keluarga matrilineal Minangkabau pada aspek harta pusaka perspektif maqashid syari’ah adalah: Ada 3 (tiga) asas pokok dalam hukum kewarisan Adat Minangkabau, yaitu: Pertama, asas unilateral. Kedua, asas kolektif. Ketiga, asas keutamaan. Secara umum klasifikasi harta di Minangkabau ada dua jenis, yaitu: Harta pusako tinggi adalah harta kaum yang diterima secara turun temurun dari ninik ke-mamak, dari mamak kepada kemenakan menurut garis keturunan ibu diwariskan secara kolektif menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Harta Pusako Randah adalah segala harta yang didapat dari hasil usaha pekerjaan sendiri, termasuk di dalamnya adalah harta pencaharian suami isteri. Harta pusaka rendah diwariskan menurut hukum faraidh. Harta pusaka tinggi dalam adat Minangkabau tidak bisa digunakan konsep warisan Islam, karena ia bukanlah harta warisan sebagaimana terdapat dalam faraidh. Adapun harta pusaka rendah adalah harta yang merupakan hasil pencaharian seseorang yang dia miliki secara utuh dan sempurna, dan dia punya kuasa penuh terhadap harta tersebut, sehingga konsep pewarisannya harus mengikuti faraaidh.

Item Type: Thesis (Disertasi)
Subjects: 200 Agama > 290 Agama Selain Kristen > 297 Islam
Divisions: Program Pascasarjana > S3 > Hukum Keluarga
Depositing User: pps -
Date Deposited: 24 Jan 2020 04:33
Last Modified: 24 Jan 2020 04:35
URI: http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/25465

Available Versions of this Item

Actions (login required)

View Item View Item